PERGAULAN DAN PENDIDIKAN
Sifat-sifat
Pergaulan Pendidikan
Fenomena pendidikan (situasi pendidikan) berlangsung di dalam pergaulan antara
orang dewasa dengan anak. Namun sekalipun demikian, tidak setiap pergaulan
antara orang dewasa dengan anak mengandung situasi pendidikan, sehingga dengan
demikian tidak setiap pergaulan antara orang dewasa dengan anak dapat tergolong
ke dalam pendidikan.
Perlu dipahami, di dalam pergaulan, tidak setiap tindakan atau pengaruh
orang dewasa yang diberikan kepada anak adalah mendidik. Contoh: ”Pada saat
ujian berlangsung, karena takut murid-muridnya tidak lulus, seorang guru
(pengawas ujian) membiarkan murid-muridnya mencontek, bahkan guru tersebut
memberitahu soal ujian kepada murid-muridnya”. Sekalipun dilakukan oleh guru dan
berlangsung di sekolah, tetapi tindakan guru seperti itu jelas tidak mendidik.
Pendidikan yang dilakukan orang dewasa sebagai pendidik kepada anak
diupayakan secara sengaja, maka dalam hal ini pendidik tentunya telah memiliki
tujuan tertentu pula. Dari uraian di atas, dapat didefinisikan adanya enam
unsur yang terlibat dalam pendidikan atau pergaulan pendidikan, yaitu:
1.
Tujuan
pendidikan,
2.
Pendidik,
3.
Anak
didik,
4.
Isi
pendidikan,
5.
Alat
pendidikan,
6.
Lingkungan
pendidikan.
Dalam pergaulan pendidikan, pergaulan antara orang dewasa dengan anak
akan dikatakan mendidik hanya jika tindakan atau pengaruh itu diberikan secara sengaja dan bersifat positif. Artinya, bahwa pengaruh itu
secara disadari diciptakan atau diberikan oleh orang dewasa kepada anak; selain
itu bahwa isi tindakan atau pengaruhnya itu bersifat membantu anak agar cukup
cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri atau terarah kepada pencapaian
kedewasaan. Sejalan dengan pernyataan ini M.J. Langeveld (1980:20-21)
mengemukakan adanya dua sifat pergaulan dalam rangka pendidikan, yaitu:
a.
Bahwa
dalam pergaulan orang berusaha mempengaruhi;
b.
Pengaruh
itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa,
seperti: sekolah, buku, peraturan, hidup sehari-hari dan sebagainya) yang
ditujukan kepada anak agar mencapai kedewasaan.
Contoh pengaruh orang dewasa yang disengaja dan bersifat positif atau
diarahkan kepada kedewasaan: “Pak guru selalu datang tepat waktu sesuai jadwal
mengajar yang telah ditetapkan, dengan perbuatannya itu pak guru bermaksud
memberikan teladanagar para siswanya berdisiplin dan menghargai waktu untuk
digunakan sebaik-baiknya”.
Kemungkinan dan Sifat Perubahan Situasi Pergaulan Biasa menjadi Situasi Pendidikan
Situasi pergaulan biasa pada saat tertentu dapat diubah menjadi situasi
pendidikan. Sebaliknya, pada saat tertentu pula situasi pendidikan dapat
berubah menjadi situasi pergaulan biasa. “Pergaulan itu seakan-akan disediakan
untuk memungkinkan munculnya gejala pendidikan dan …. yang setiap waktu pula
bersedia ‘menyimpan kembali’ gejala pendidikan itu” (M.J. Langeveld, 1980:29).
Situasi pergaulan dewasa antara orang dewasa dengan anak dapat berubah
atau diubah menjadi situasi pendidikan jika terpenuhinya dua sifat pergaulan
pendidikan, yaitu jika orang dewasa secara sengaja
mempengaruhi anak agar mencapai kedewasaan. Dalam pernyataan ini tersirat makna
sebagai berikut: karena pengaruh itu diberikan secara sengaja (disadari), maka
dalam situasi pendidikan seorang pendidik harus sudah mempunyai tujuan
pendidikan tertentu; untuk mencapai tujuan tersebut pendidik memilihkan isi
pendidikan (berupa pengetahuan, sikap, keterampilan, dan/nilai-nilai) yang
tepat bagi anak didiknya; adapun dalam rangka mempengaruhi anak, pendidik juga
perlu menggunakan cara dan alat pendidikan. Implikasi dari itu maka tanggung jawab pendidikan berada pada pihak
orang dewasa yang harus memberikan pengaruh positif kepada anak yang
diarahkan kepada pencapaian kedewasaan.
Pada saat terpenuhinya kedua sifat diatas itulah situasi pergaulan biasa
berubah menjadi situasi pendidikan, sehingga orang dewasa yang bergaul dengan
anak berkedudukan sebagai pendidik, dan anak yang bergaul dengan orang dewasa
berkedudukan sebagai anak didik. Sebaliknya, jika kedua sifat itu tidak terpenuhi,
maka kedudukan orang dewasa tidak lagi sebagai pendidik, dan kedudukan anak pun
tidak lagi sebagai anak didik. Dalam keadaan demikian situasi pergaulan
pendidikan berubah kenbali menjadi situasi pergaulan biasa (bukan situasi
pendidikan).
1. Sifat
yang harus dipenuhi dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi pergaulan
pendidikan
Menurut M.J. Langeveld (1980:30-31) ada dua sifat yang harus
diperhatikan apabila pendidik akan mengubah situasi pergaulan biasa menjadi
situasi pendidikan, yaitu:
a.
Kewajaran
(wajar)
b.
Ketegasan
(tegas)
2. Perlunya
kewajaran dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan
Dalam keadaan tertentu, pengubahan situasi pergaulan biasa menjadi
situasi pendidikan hendaknya dilakukan secara wajar sehingga tidak tampak jelas
dan tidak dirasakan kesengajaannya oleh anak didik, walaupun sesungguhnya
pengubahan situasi pergaulan itu secara sengaja diciptakan oleh pendidik. Dalam
keadaan seperti ini anak biasanya hampir tidak menyadari bahwa situasi
pergaulan yang sedang berlangsung telah berubah menjadi situasi pendidikan,
sehingga dengan demikiananak menerima pengaruh pendidik secara wajar pula.
Contoh: “Ketika pak Pulan dengan seorang anaknya yang berusia sebelas
tahunsedang menyaksikan tayangan pertandingan sepak bola pada salah satu
stasiun televisi, pada tayangan tersebut tiba-tiba terjadi peristiwa keributan
dan saling pukul-memukul diantara pemain karena adanya pelanggaran yang
dilakukan oleh salah seorang pemain lawan. Sampai akhirnya permainan dihentikan
sementara oleh wasit (situasi pergaulan biasa/situasi rekreasi atau hiburan)”.
Melihat kejadian itu, pak Pulan menyadari bahwa anaknya mesti mengetahui
sesungguhnya peristiwa keributan dan terjadinyasaling memukul diantara
pemaindalam pertandingan olah raga adalah suatu perbuatan yang tidak baik,
sebab tidak terwujudnya prinsip sportivitas
dan fair play yang harus dijunjung
tinggi oleh setiap olahragawan atau atlit. Untuk itu pak Pulan berupaya mengubah
situasi pergaulan biasa/situasi rekreasi atau hiburan itu menjadi situasi
pergaulan pendidikan. Pak Pulan berupaya melakukannya dengan cara yang wajar,
misal: dengan maksud agar anaknya mengetahui bahwa peristiwa keributan itu
tidak baik dan agar tidak ditiru oleh anaknya, lalu pak Pulan menyatakan: “Aduh
….. ini peristiwa yang memalukan dalam persepakbolaan kita. Kapan
persepakbolaan kita mau maju klau dipadukan dengan tinju? Terpancing dengan
pernyataan pak Pulan, lalu anaknya bertanya dan selanjutnya terjadi dialog
diantara mereka, sampai akhirnya anaknya mengerti dalam permainan olah raga ada
aturan-aturan yang harus ditaati, tidak boleh bermain curang dan harus lapang
dada menerima kekalahan, serta tidak sombong apabila memperoleh kemenangan
(bermain dengan menjungjung tinggi prinsip
sportivitas dan fair play)”
(situasi pendidikan). Dalam konteks ini pengubahan situasi pergaulannya
berlangsung wajar sehingga anaknya todak merasakan bahwa dirinya sedang dididik
oleh bapaknya.
Pengubahan situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan yang
berlangsung secara wajar perlu dilakukan, sebab pengalaman membuktikan bahwa
kesengajaan yang terlalu nyata biasanya dianggap oleh anak didik sebagai pelanggaran
atas hak dan kebebasannya untuk menentukan sikapnya sendiri. Keadaan seperti
ini akan mengakibatkan anak didik memberikan perlawanan, proses atau menjauhkan
diri (“menghindar”) dari pendidiknya. Contoh: setelah melihat peristiwa
keributan dan saling pukul-memukul diantara pemain sepak bola seperti dalam
contoh yang telah dideskripsikan di muka, lalu pak Pulan mengubah situasi pergaulan
biasa/situasi rekreasi atau hiburan itu menjadi situasi pendidikan dengan cara
yang berbeda dari cara yang relah dikemukakan di muka. Misal: tiba-tiba saja
pak Pulan berdiri dan langsung mematikan pesawat televisinya. Lalu ia berkata:
“Nak, duduk yang baik, perhatikan Bapak! Agar kamu tidak melakukan tindakan
seperti yang terjadi dalam peristiwa pertandingan sepak bola tadi, Bapak ingin
mengajarimu tentang prinsip sportivitas dan fair play, dst”. (situasi pendidikan). Kita bisa membayangkan, anak
yang sedang asyik nonton dan ingin mengertahui kelanjutan pertandingan sepak
bola itu, tiba-tiba harus mendengar ceramah dari bapaknya. Barangkali saja ia
menggarutu: Aah Bapak, …. lagi rame-ramemya nonton bola malah tv-nya dimatikan.
Bahkan saking kecewanya, mungkin saja anak langsung pergi ngeloyor meninggalkan
bapaknya.
3.
Perlunya ketegasan dalam mengubah situasi pergaulan
biasa menjadi situasi pendidikan
Selain harus
dilakukan secara wajar, dalam rangka mengubah situasi pergaulan biasa menjadi
situasi pendidikan juga harus dilakukan secara tegas. Alasannya, bahwa sifat
pengubahan situasi seperti ini akan memberikan kejelasan bagi anak apa yang
positif atau negative, mana yang baik atau tidak baik, serta menyadari apa ynag
boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Perlu diperhatikan, istilah tegas
atau ketegasan dalam kalimat diatas bukan berarti keras atau kekerasan. Tegas
disini maksudnya harus menunjukkan kejelasan perbedaan antara pengetahuan,
sikap, nilai-nilai dan perbuatan yang benar atau baik dengan yang salah atau
tidak baik. Contoh: Ibu guru kelas 2 SD melihat salah seoranng siswanya bernama
X mengambil karet penghapus milik temannya bernama Y tanpa izin untuk digunakan
karena iaingin menghapus tulisannya yang salah. Anak pemilik karet penghapus
karet penghapus (Y) tidak terima perlakuan temannya bernama X itu, maka
terjadilah percekcokan diantara mereka. Dengan senyuman yang manis dan suara
dengan nada yang lemah lembut, ibu guru berkata:”Sudahlah Nak jangan ribut. Ibu
tahu X bersalah tidak minta ijin terlebih dulu kepada Y untuk meminjam karet
penghapus. Tapi, Y juga mau kan meminjamkan karet penghapus kepada X? Baiklah,
sekarang X minta maaf kepada Y, ayo kalian saling bermaafan, dan lanjutkan lagi
belajarnya”. Dalam contoh ini, walaupun dengan cara wajar dan tidak dengan cara
yang keras, ibu guru berupaya menunjukkan secara jelas bahwa perbuatan X salah
atau tidak baik, tetapi tidak dengan cara-cara yang keras. Selain itu agar tidak
terus terjadi percekcokan ibu guru pun berupaya mendamaikan kedua siswanya itu.
4. Kepercayaan
sebagai syarat tehnik pendidikan
Dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi paendidikan
sebagaimana dikemukakan di atas, berbagai hal baik dan berguna bagi anak didik
ibaratnya “dimasukkan” ke dakam pergaulan oleh pendidik. Sebaliknya berbagai
hal yang tidak baik, tidak berguna dan berbahaya bagi anak didik “dikeluarkan” oleh
pendidik dari pergaulan tersebut. Dalam rangka itu semua, untuk mengetahui
kapan harus “memasukkan” hal yang baik dan kapan harus “mengeluarkan” hal ynag
tidak baik bagi pergaulan dengan anak, tentunya pendidik perlu “mengawasi” segala sesuatu yang terjadi
dalam pergaulan. Adapun “pangawasan” ini hendaknya dilakukan secara wajar, agar
pergaulan pun berlangsung secara wajar denngan hati terbuka dari kedua belah
pihak.
Mengapa “pengawasan” itu perlu dilakukan secara wajar? Berkenaan dengan
ini perlu dioaerhatikan, bahwa “pengawasan yang berlebihan” dari pendidik akan
menngakibatkan anak didik melarikan diri dari sifat-sifat pergaulan yang
dilaksanakan dengan hati terbuka. Ia mungkin menjadi orang yang suka menyembunyikan isi hatinya, suka berbohong,
dsb. Bahkan pula munngkin anak didik itu “mengunci” diri terhadap pendidik
apabila “tekanan” yang ditimbulkan oleh pengawasan tersebut terlalu besar
dirasakan anak didik.
Terjadinya hal di atas merupakan gejala bahwa anak didik merasa tidak
aman karena ia merasa selalu “diawasi”, dan selalu khawatir segala perbuatannya
akan disalahkan oleh pendidiknya. Anak didik akan merasa dirampas haknya untuk
menentukan sikap dan perbuatannya sendiri. Selain itu, semua ini juga merupakan
indikasi bahwa anak didik tidak lagi percaya bahwa pendidiknya adalah orang
yang menyayanginya,orang yang baik, orang yang dapat memberikan perlindungan
atau rasa aman, orang yang dapat memberikan bantuan, dsb. Sebaliknya, pendidik
yang “mengawasi pergaulan secara tidak wajar atau berlebihan” pun menunjukkan
ketidakpercayaan pendidik bahwa anak didiknya akan mampu berbuat baik atau
mampu berdiri sendiri. Pendek kata, dalam pergaulan seperti ini tidak terdapat
lagi kepercayaan ddari pendidik kepada anak didiknya maupun dari anak didik kepada pendidiknya.
Karena tidak adanya percaya memperccayai dari kedua belah pihak itulah maka
pergaulan tersebut tidak kondusif untuk pendidikan, sehingga pendidikan tidak
dapat berlangsung sesuai dengan harapan. Sehubungan dengan itu M.J. Langeveld
(1980:30) menyatakan bahwa “perhubungan
yang berdasarkan percaya mempercayai merupakan syarat tehnik bagi pendidikan”.
5. Lingkungan
pendidikan
Pergaulan dalam rangka pendidikan berlangsung di berbagai lingkungan.
Secara umum, lingkungan pendidikan dibedakan kedalam tiga jenis, yaitu:
a.
Lingkungan
pendidikan informal (keluarga)
b.
Lingkungan
pendidikan formal (sekolah)
c.
Lingkungan
pendidikan nonformal (masyarakat)
C. Sifat
Pendidikan
Telah kita pahami bahwa pergaulan pendidikan itu harus memenuhi dua
sifat, yaitu:
1.
Adanya
tindakan/pengaruh yang disengaja dari pendidik kepada anak didik,
2.
Tindakan/pengaruh
itu bersifat positif, artinya diarahkan agar anak mencapai kedewasaan.
Apabila kita kaji lebih teliti, di dalam pernyataan di atas terkandung
makna bahwa tindakan/pengaruh yang diberikan pendidik kepada anak didik dapat
dikategorikan sebagai pendidikan hanya apabila diupayakan secara disengaja
dengan cara-cara yang tidak melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang diakui
di dalam masyarakat, selain itu bahwa tindakan/pengaruh itu diarahkan sesuai
dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diakui di dalam masyarakat. Siapapun
(orang dewasa) yang melakukan tindakan
atau memberikan pengaruh kepada anak, tetapi apabila tindakan atau pengaruhnya
itu melanggar norma dan bertentangan nilai-nilai yang baik yang diakui
masyarakat (tidak mengarah kepada pencapai kedewasaan pada diri anak), maka
perbuatan demikian tidak tergolong ke dalam pendidikan. Sebab itu, dinyatakan
bahwa pendidikan bersifat normatif.
Pendidikan
bersifat normatif, maka implikasinya bahwa bahwa tujuan, isi, cara dan alat
pendidikan yang digunakan pendidik semuanya harus diarahkan untuk membimbing
anak didik kepada hal-hal yang baik atau ke arah kedewasaan. Selain itu, bahwa
dalam rangka bertindak di dalam pergaulan pendidikan, pendidik harus
memperhatikan dan mempertimbangkan aspek pribadi anak didik. Apakah
karakteristik anak didik berkenaan dengan keanakannya, minat, bakat, kemampuan,
dsb. Pendidik juga harus
mempertimbangkan bahwa anak didik bukan hanya tumbuh dan berkembang sehingga
memiliki kecenderungan untuk menjadi “besar”, melainkan juga “ketidakmampuan
dan ketergantungannya” yang menuntut asuhan, bimbingan, pengajaran dsb. dari
pendidik. Selain itu, pendidik pun harus sadar bahwa anak didik pada dasarnya
memiliki kebebasan dan keinginan untuk menjadi dirinya sendiri. Semua itu
benar-benar perlu diperhatikan, sebab “pergaulan
yang tidak menghormati keanakan itu menunjukkan kekurangan dan
ketidaksempurnaan pedagogis (M.J. Langeveld, 1980:34). Pergaulan pendidikan
yang tujuan, isi, metode, dan alat pendidikannya tidak sesuai dengan kodrat,
martabat dan nilai-nilai kemanusiaan tidak dapat disebut sebagai pendidikan.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan ini
adalah:
1.
fenomena
pendidikan berlangsung didalam pergaulan antara orang dewasa dengan anak;
2.
pendidikan
datang dalam bentuk tindakan/pengaruh dari orang dewasa (sebagai pendidik) kepada anak yang diberikan secara sengaja dan
bersifat positif;
3.
Situasi
pergaulan biasa dapat diubah menjadi situasi pendidikan dengan sifat yang wajar
sehingga tidak tampak jelas dan tidak dirasakan kesengajaannya oleh anak didik;
dan sifat yang tegas sehingga memberikan kejelasan bagi anak tentang apa yang
positif atau negatif.
0 komentar:
Post a Comment