Thursday 9 February 2017

Makalah Pedagogika Tentang Pergaulan dan Pendidikan

PERGAULAN DAN PENDIDIKAN


 Sifat-sifat Pergaulan Pendidikan


Fenomena pendidikan (situasi pendidikan) berlangsung di dalam pergaulan antara orang dewasa dengan anak. Namun sekalipun demikian, tidak setiap pergaulan antara orang dewasa dengan anak mengandung situasi pendidikan, sehingga dengan demikian tidak setiap pergaulan antara orang dewasa dengan anak dapat tergolong ke dalam pendidikan.
Perlu dipahami, di dalam pergaulan, tidak setiap tindakan atau pengaruh orang dewasa yang diberikan kepada anak adalah mendidik. Contoh: ”Pada saat ujian berlangsung, karena takut murid-muridnya tidak lulus, seorang guru (pengawas ujian) membiarkan murid-muridnya mencontek, bahkan guru tersebut memberitahu soal ujian kepada murid-muridnya”. Sekalipun dilakukan oleh guru dan berlangsung di sekolah, tetapi tindakan guru seperti itu jelas tidak mendidik.
Pendidikan yang dilakukan orang dewasa sebagai pendidik kepada anak diupayakan secara sengaja, maka dalam hal ini pendidik tentunya telah memiliki tujuan tertentu pula. Dari uraian di atas, dapat didefinisikan adanya enam unsur yang terlibat dalam pendidikan atau pergaulan pendidikan, yaitu:
1.    Tujuan pendidikan,
2.    Pendidik,
3.    Anak didik,
4.    Isi pendidikan,
5.    Alat pendidikan,
6.    Lingkungan pendidikan.
Dalam pergaulan pendidikan, pergaulan antara orang dewasa dengan anak akan dikatakan mendidik hanya jika tindakan atau pengaruh itu diberikan secara sengaja dan bersifat positif. Artinya, bahwa pengaruh itu secara disadari diciptakan atau diberikan oleh orang dewasa kepada anak; selain itu bahwa isi tindakan atau pengaruhnya itu bersifat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri atau terarah kepada pencapaian kedewasaan. Sejalan dengan pernyataan ini M.J. Langeveld (1980:20-21) mengemukakan adanya dua sifat pergaulan dalam rangka pendidikan, yaitu:
a.       Bahwa dalam pergaulan orang berusaha mempengaruhi;
b.      Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa, seperti: sekolah, buku, peraturan, hidup sehari-hari dan sebagainya) yang ditujukan kepada anak agar mencapai kedewasaan.
Contoh pengaruh orang dewasa yang disengaja dan bersifat positif atau diarahkan kepada kedewasaan: “Pak guru selalu datang tepat waktu sesuai jadwal mengajar yang telah ditetapkan, dengan perbuatannya itu pak guru bermaksud memberikan teladanagar para siswanya berdisiplin dan menghargai waktu untuk digunakan sebaik-baiknya”.



Kemungkinan dan Sifat Perubahan Situasi Pergaulan Biasa menjadi Situasi Pendidikan


Situasi pergaulan biasa pada saat tertentu dapat diubah menjadi situasi pendidikan. Sebaliknya, pada saat tertentu pula situasi pendidikan dapat berubah menjadi situasi pergaulan biasa. “Pergaulan itu seakan-akan disediakan untuk memungkinkan munculnya gejala pendidikan dan …. yang setiap waktu pula bersedia ‘menyimpan kembali’ gejala pendidikan itu” (M.J. Langeveld, 1980:29).
Situasi pergaulan dewasa antara orang dewasa dengan anak dapat berubah atau diubah menjadi situasi pendidikan jika terpenuhinya dua sifat pergaulan pendidikan, yaitu jika orang dewasa secara sengaja mempengaruhi anak agar mencapai kedewasaan. Dalam pernyataan ini tersirat makna sebagai berikut: karena pengaruh itu diberikan secara sengaja (disadari), maka dalam situasi pendidikan seorang pendidik harus sudah mempunyai tujuan pendidikan tertentu; untuk mencapai tujuan tersebut pendidik memilihkan isi pendidikan (berupa pengetahuan, sikap, keterampilan, dan/nilai-nilai) yang tepat bagi anak didiknya; adapun dalam rangka mempengaruhi anak, pendidik juga perlu menggunakan cara dan alat pendidikan. Implikasi dari itu maka tanggung jawab pendidikan berada pada pihak orang dewasa yang harus memberikan pengaruh positif kepada anak yang diarahkan kepada pencapaian kedewasaan.
Pada saat terpenuhinya kedua sifat diatas itulah situasi pergaulan biasa berubah menjadi situasi pendidikan, sehingga orang dewasa yang bergaul dengan anak berkedudukan sebagai pendidik, dan anak yang bergaul dengan orang dewasa berkedudukan sebagai anak didik. Sebaliknya, jika kedua sifat itu tidak terpenuhi, maka kedudukan orang dewasa tidak lagi sebagai pendidik, dan kedudukan anak pun tidak lagi sebagai anak didik. Dalam keadaan demikian situasi pergaulan pendidikan berubah kenbali menjadi situasi pergaulan biasa (bukan situasi pendidikan).

1.    Sifat yang harus dipenuhi dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi pergaulan pendidikan

Menurut M.J. Langeveld (1980:30-31) ada dua sifat yang harus diperhatikan apabila pendidik akan mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan, yaitu:
a.    Kewajaran (wajar)
b.    Ketegasan (tegas)

2.    Perlunya kewajaran dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan

Dalam keadaan tertentu, pengubahan situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan hendaknya dilakukan secara wajar sehingga tidak tampak jelas dan tidak dirasakan kesengajaannya oleh anak didik, walaupun sesungguhnya pengubahan situasi pergaulan itu secara sengaja diciptakan oleh pendidik. Dalam keadaan seperti ini anak biasanya hampir tidak menyadari bahwa situasi pergaulan yang sedang berlangsung telah berubah menjadi situasi pendidikan, sehingga dengan demikiananak menerima pengaruh pendidik secara wajar pula.
Contoh: “Ketika pak Pulan dengan seorang anaknya yang berusia sebelas tahunsedang menyaksikan tayangan pertandingan sepak bola pada salah satu stasiun televisi, pada tayangan tersebut tiba-tiba terjadi peristiwa keributan dan saling pukul-memukul diantara pemain karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh salah seorang pemain lawan. Sampai akhirnya permainan dihentikan sementara oleh wasit (situasi pergaulan biasa/situasi rekreasi atau hiburan)”. Melihat kejadian itu, pak Pulan menyadari bahwa anaknya mesti mengetahui sesungguhnya peristiwa keributan dan terjadinyasaling memukul diantara pemaindalam pertandingan olah raga adalah suatu perbuatan yang tidak baik, sebab tidak terwujudnya prinsip sportivitas dan fair play yang harus dijunjung tinggi oleh setiap olahragawan atau atlit. Untuk itu pak Pulan berupaya mengubah situasi pergaulan biasa/situasi rekreasi atau hiburan itu menjadi situasi pergaulan pendidikan. Pak Pulan berupaya melakukannya dengan cara yang wajar, misal: dengan maksud agar anaknya mengetahui bahwa peristiwa keributan itu tidak baik dan agar tidak ditiru oleh anaknya, lalu pak Pulan menyatakan: “Aduh ….. ini peristiwa yang memalukan dalam persepakbolaan kita. Kapan persepakbolaan kita mau maju klau dipadukan dengan tinju? Terpancing dengan pernyataan pak Pulan, lalu anaknya bertanya dan selanjutnya terjadi dialog diantara mereka, sampai akhirnya anaknya mengerti dalam permainan olah raga ada aturan-aturan yang harus ditaati, tidak boleh bermain curang dan harus lapang dada menerima kekalahan, serta tidak sombong apabila memperoleh kemenangan (bermain dengan menjungjung tinggi prinsip sportivitas dan fair play)” (situasi pendidikan). Dalam konteks ini pengubahan situasi pergaulannya berlangsung wajar sehingga anaknya todak merasakan bahwa dirinya sedang dididik oleh bapaknya.
Pengubahan situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan yang berlangsung secara wajar perlu dilakukan, sebab pengalaman membuktikan bahwa kesengajaan yang terlalu nyata biasanya dianggap oleh anak didik sebagai pelanggaran atas hak dan kebebasannya untuk menentukan sikapnya sendiri. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan anak didik memberikan perlawanan, proses atau menjauhkan diri (“menghindar”) dari pendidiknya. Contoh: setelah melihat peristiwa keributan dan saling pukul-memukul diantara pemain sepak bola seperti dalam contoh yang telah dideskripsikan di muka, lalu pak Pulan mengubah situasi pergaulan biasa/situasi rekreasi atau hiburan itu menjadi situasi pendidikan dengan cara yang berbeda dari cara yang relah dikemukakan di muka. Misal: tiba-tiba saja pak Pulan berdiri dan langsung mematikan pesawat televisinya. Lalu ia berkata: “Nak, duduk yang baik, perhatikan Bapak! Agar kamu tidak melakukan tindakan seperti yang terjadi dalam peristiwa pertandingan sepak bola tadi, Bapak ingin mengajarimu tentang  prinsip sportivitas dan fair play, dst”. (situasi pendidikan). Kita bisa membayangkan, anak yang sedang asyik nonton dan ingin mengertahui kelanjutan pertandingan sepak bola itu, tiba-tiba harus mendengar ceramah dari bapaknya. Barangkali saja ia menggarutu: Aah Bapak, …. lagi rame-ramemya nonton bola malah tv-nya dimatikan. Bahkan saking kecewanya, mungkin saja anak langsung pergi ngeloyor meninggalkan bapaknya.

3.    Perlunya ketegasan dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan

 Selain harus dilakukan secara wajar, dalam rangka mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan juga harus dilakukan secara tegas. Alasannya, bahwa sifat pengubahan situasi seperti ini akan memberikan kejelasan bagi anak apa yang positif atau negative, mana yang baik atau tidak baik, serta menyadari apa ynag boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Perlu diperhatikan, istilah tegas atau ketegasan dalam kalimat diatas bukan berarti keras atau kekerasan. Tegas disini maksudnya harus menunjukkan kejelasan perbedaan antara pengetahuan, sikap, nilai-nilai dan perbuatan yang benar atau baik dengan yang salah atau tidak baik. Contoh: Ibu guru kelas 2 SD melihat salah seoranng siswanya bernama X mengambil karet penghapus milik temannya bernama Y tanpa izin untuk digunakan karena iaingin menghapus tulisannya yang salah. Anak pemilik karet penghapus karet penghapus (Y) tidak terima perlakuan temannya bernama X itu, maka terjadilah percekcokan diantara mereka. Dengan senyuman yang manis dan suara dengan nada yang lemah lembut, ibu guru berkata:”Sudahlah Nak jangan ribut. Ibu tahu X bersalah tidak minta ijin terlebih dulu kepada Y untuk meminjam karet penghapus. Tapi, Y juga mau kan meminjamkan karet penghapus kepada X? Baiklah, sekarang X minta maaf kepada Y, ayo kalian saling bermaafan, dan lanjutkan lagi belajarnya”. Dalam contoh ini, walaupun dengan cara wajar dan tidak dengan cara yang keras, ibu guru berupaya menunjukkan secara jelas bahwa perbuatan X salah atau tidak baik, tetapi tidak dengan cara-cara yang keras. Selain itu agar tidak terus terjadi percekcokan ibu guru pun berupaya mendamaikan kedua siswanya itu.

4.    Kepercayaan sebagai syarat tehnik pendidikan

Dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi paendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, berbagai hal baik dan berguna bagi anak didik ibaratnya “dimasukkan” ke dakam pergaulan oleh pendidik. Sebaliknya berbagai hal yang tidak baik, tidak berguna dan berbahaya bagi anak didik “dikeluarkan” oleh pendidik dari pergaulan tersebut. Dalam rangka itu semua, untuk mengetahui kapan harus “memasukkan” hal yang baik dan kapan harus “mengeluarkan” hal ynag tidak baik bagi pergaulan dengan anak, tentunya pendidik perlu “mengawasi” segala sesuatu yang terjadi dalam pergaulan. Adapun “pangawasan” ini hendaknya dilakukan secara wajar, agar pergaulan pun berlangsung secara wajar denngan hati terbuka dari kedua belah pihak.
Mengapa “pengawasan” itu perlu dilakukan secara wajar? Berkenaan dengan ini perlu dioaerhatikan, bahwa “pengawasan yang berlebihan” dari pendidik akan menngakibatkan anak didik melarikan diri dari sifat-sifat pergaulan yang dilaksanakan dengan hati terbuka. Ia mungkin menjadi orang yang suka  menyembunyikan isi hatinya, suka berbohong, dsb. Bahkan pula munngkin anak didik itu “mengunci” diri terhadap pendidik apabila “tekanan” yang ditimbulkan oleh pengawasan tersebut terlalu besar dirasakan anak didik.
Terjadinya hal di atas merupakan gejala bahwa anak didik merasa tidak aman karena ia merasa selalu “diawasi”, dan selalu khawatir segala perbuatannya akan disalahkan oleh pendidiknya. Anak didik akan merasa dirampas haknya untuk menentukan sikap dan perbuatannya sendiri. Selain itu, semua ini juga merupakan indikasi bahwa anak didik tidak lagi percaya bahwa pendidiknya adalah orang yang menyayanginya,orang yang baik, orang yang dapat memberikan perlindungan atau rasa aman, orang yang dapat memberikan bantuan, dsb. Sebaliknya, pendidik yang “mengawasi pergaulan secara tidak wajar atau berlebihan” pun menunjukkan ketidakpercayaan pendidik bahwa anak didiknya akan mampu berbuat baik atau mampu berdiri sendiri. Pendek kata, dalam pergaulan seperti ini tidak terdapat lagi kepercayaan ddari pendidik kepada anak didiknya  maupun dari anak didik kepada pendidiknya. Karena tidak adanya percaya memperccayai dari kedua belah pihak itulah maka pergaulan tersebut tidak kondusif untuk pendidikan, sehingga pendidikan tidak dapat berlangsung sesuai dengan harapan. Sehubungan dengan itu M.J. Langeveld (1980:30) menyatakan bahwa “perhubungan yang berdasarkan percaya mempercayai merupakan syarat tehnik bagi pendidikan”.

5.    Lingkungan pendidikan

Pergaulan dalam rangka pendidikan berlangsung di berbagai lingkungan. Secara umum, lingkungan pendidikan dibedakan kedalam tiga jenis, yaitu:
a.    Lingkungan pendidikan informal (keluarga)
b.    Lingkungan pendidikan formal (sekolah)
c.    Lingkungan pendidikan nonformal (masyarakat)

C.       Sifat Pendidikan

Telah kita pahami bahwa pergaulan pendidikan itu harus memenuhi dua sifat, yaitu:
1.    Adanya tindakan/pengaruh yang disengaja dari pendidik kepada anak didik,
2.    Tindakan/pengaruh itu bersifat positif, artinya diarahkan agar anak mencapai kedewasaan.
Apabila kita kaji lebih teliti, di dalam pernyataan di atas terkandung makna bahwa tindakan/pengaruh yang diberikan pendidik kepada anak didik dapat dikategorikan sebagai pendidikan hanya apabila diupayakan secara disengaja dengan cara-cara yang tidak melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang diakui di dalam masyarakat, selain itu bahwa tindakan/pengaruh itu diarahkan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diakui di dalam masyarakat. Siapapun (orang dewasa)  yang melakukan tindakan atau memberikan pengaruh kepada anak, tetapi apabila tindakan atau pengaruhnya itu melanggar norma dan bertentangan nilai-nilai yang baik yang diakui masyarakat (tidak mengarah kepada pencapai kedewasaan pada diri anak), maka perbuatan demikian tidak tergolong ke dalam pendidikan. Sebab itu, dinyatakan bahwa pendidikan bersifat normatif.

Pendidikan bersifat normatif, maka implikasinya bahwa bahwa tujuan, isi, cara dan alat pendidikan yang digunakan pendidik semuanya harus diarahkan untuk membimbing anak didik kepada hal-hal yang baik atau ke arah kedewasaan. Selain itu, bahwa dalam rangka bertindak di dalam pergaulan pendidikan, pendidik harus memperhatikan dan mempertimbangkan aspek pribadi anak didik. Apakah karakteristik anak didik berkenaan dengan keanakannya, minat, bakat, kemampuan, dsb. Pendidik juga  harus mempertimbangkan bahwa anak didik bukan hanya tumbuh dan berkembang sehingga memiliki kecenderungan untuk menjadi “besar”, melainkan juga “ketidakmampuan dan ketergantungannya” yang menuntut asuhan, bimbingan, pengajaran dsb. dari pendidik. Selain itu, pendidik pun harus sadar bahwa anak didik pada dasarnya memiliki kebebasan dan keinginan untuk menjadi dirinya sendiri. Semua itu benar-benar perlu diperhatikan, sebab “pergaulan yang tidak menghormati keanakan itu menunjukkan kekurangan dan ketidaksempurnaan pedagogis (M.J. Langeveld, 1980:34). Pergaulan pendidikan yang tujuan, isi, metode, dan alat pendidikannya tidak sesuai dengan kodrat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan tidak dapat disebut sebagai pendidikan.


KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan ini adalah:
1.    fenomena pendidikan berlangsung didalam pergaulan antara orang dewasa dengan anak;
2.    pendidikan datang dalam bentuk tindakan/pengaruh dari orang dewasa (sebagai pendidik)  kepada anak yang diberikan secara sengaja dan bersifat positif;
3.    Situasi pergaulan biasa dapat diubah menjadi situasi pendidikan dengan sifat yang wajar sehingga tidak tampak jelas dan tidak dirasakan kesengajaannya oleh anak didik; dan sifat yang tegas sehingga memberikan kejelasan bagi anak tentang apa yang positif atau negatif.

0 komentar:

Post a Comment